Pages

Selasa, 15 Mei 2012

Teori Belajar Albert Bandura



PENDAHULUAN

I.1   Latar Belakang
Teori merupakan salah satu unsur penting dari setiap pengetahuan ilmiah atau ilmu, termasuk teori pembelajaran. Tanpa teori pembelajaran tidak akan ada suatu kerangka kerja konseptual yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan pembelajaran. Teori pembelajaran adalah suatu kerangka kerja konseptual yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan pembelajaran. Dalam perkembangannya terdapat banyak sekali teori-teori yang berkembang dari tokoh-tokoh psikologi, salah satunya adalah teori belajar observasional yang dikembangkan oleh Albert BanduraTe.
Albert Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social (Social Learning Teory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan evaluasi. Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa proses kognitif sangat penting dalam penentuan perilaku manusia. Bukti adanya pengaruh proses kognitif ini berasal dari fakta bahwa kita dapat membayangkan (imagine) diri kita dalam keadaan emosi apa saja. Sebagian dari perilaku seseorang ditentukan oleh proses kognitifnya, maka jika proses kognitif tidak akurat dalam merefleksikan realitas maka akan muncul perilaku yang salah. Bandura juga mengembangkan model deterministik resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, dan faktor kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor kognitif mencakup ekspektasi,keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Menurut Bandura proses meniru perilaku dan sikap seorang model merupakan salah satu proses pembelajaran. Melalui proses tersebut akan terjadi interaksi timbal balik antara kognitif, lingkungan, dan perilaku. Kondisi lingkungan di sekitar individu akan sangat mempengaruhi proses belajar seseorang. Misalnya, anak yang tinggal dalam keluarga yang sering melakukan kekerasan maka ia akan menjadi anak yang kasar dan sulit dalam mengendalikan emosi atau bahkan mereka tidak akan pernah mengaplikasikan kekerasan itu dalam lingkungannya karena ia menganggap bahwa perbuatan itu merugikan dirinya dan juga orang lain.
I.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan-permasalahan yang akan diambil dalam pembahasan ini adalah :
1.      Bagaimana perspektif historis dari teori belajar observasional?
2.      Bagaimana penjelasan awal tentang teori belajar observasional?
3.      Bagaimana penjelasan Bandura tentang teori belajar observasional?
4.      Bagaimana konsep teoritis utama tentang teori belajar observasional?
5.      Bagaimana penjelasan tentang proses kognitif yang salah?
6.      Bagaimana aplikasi praktis dari belajar observasional?
7.      Apa pengaruh berita dan media hiburan dalam belajar observasional?
8.      Bagaimana penjelasan tentang teori kognitif sosial?
9.      Apa pendapat Bandura tentang pendidikan?
10.  Bagaimana kontribusi dan kritik dari teori belajar observasional Bandura?

I.3        Tujuan
1.      Mengetahui perspektif historis teori belajar observasional
2.      Mengetahui penjelasan awal tentang teori belajar observasional
3.      Mengetahui penjelasan Bandura tentang teori belajar observasional
4.      Mengetahui konsep teoritis utama tentang teori belajar observasional
5.      Mengetahui penjelasan tentang proses kognitif yang salah
6.      Mengetahui aplikasi praktis dari belajar observasional
7.      Mengetahui pengaruh berita dan media hiburan
8.      Mengetahui penjelasan tentang teori kognitif sosial
9.      Mengetahui pendapat Bandura tentang pendidikan
10.  Mengetahui kontribusi dan kritik teori belajar observasional Bandura.


BAB II
PEMBAHASAN

II.1      PERSPEKTIF HISTORIS
Albert Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925,di kota kecil Mundare bagian selatan Alberta, Kanada. Dia sekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah yang sederhana, namun dengan hasil rata-rata yang sangat memuaskan. Setelah selesai SMA, dia bekerja pada perusahaan penggalian jalan raya Alaska Highway di Yukon.
Dia menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of British of Columbia tahun 1949. Kemudian dia masuk University of Iowa, tempat di mana dia meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behavioris dan teori pembelajaran.
Saat di Universitas Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence, seorang teoritisi Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi klinis. Pada saat itu, Bandura ingin menjelaskan gagasan yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian menguji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini pula Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya Miller dan Dollard (1941). Buku ini amat mempengaruhi dirinya. Miller dan Dollard menggunakan teori belajar Hullian sebagai basis kerja mereka. Penjelasan tentang belajar sosial dan imitative Miller dan Dollard mendominasi literatur psikologi selama  lebih dari dua dekade. Baru pada tahun 1960-an Bandura mulai menulis serangkaian artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif dan memperluas topik itu kea apa yang kini dinamakan belajar observasional, topik yang kini sangat populer.

II.2      PENJELASAN AWAL TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL
II.2.1   Penjelasan Thordike dan Watson tentang Belajar Observasional.
Edward L.Thorndike merupakan yang pertama kali berusaha meneliti belajar observasional secara eksperimental. Pada 1898, dia meletakkan seekor kucing dalam kotak teka teki dan kucing lainnya di sangkar yang ada di dekatnya. Kucing di kotak teka teki itu sudah belajar cara keluar dari kotak, sehingga kucing kedua hanya perlu mengamati kucing pertama untuk belajar respons membebaskan diri. Akan tetapi, ketika Thorndike meletakkan kucing kedua itu di kotak teka teki, kucing itu tidak memberikan respons membebaskan diri. Kucing kedua itu harus melakukan proses uji coba yang sama dengan kucing pertama untuk keluar dari kotak teka teki. Thorndike melakukan percobaan serupa dengan subyek ayam, anjing dan monyet, dengan hasil yang sama. Thorndike menyimpulkan bahwa, “Dalam eksperimen saya dengan hewan-hewan, tampaknya tidak ada yang mendukung hipotesis bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar melakukan sesuatu setelah melihat hewan lain melakukan sesuatu”.
Pada 1908, J.B. Watson mereplikasi riset Thorndike dengan monyet, dia juga tidak menemukan bukti adanya belajar observasional. Thorndike dan Watson sama-sama menyimpulkan bahwa belajar hanya berasal dari direct experience (pengalaman langsung) dan bukan dari vicarious experience (pengalaman tak langsung atau pengganti). Dengan kata lain, mereka menganggap belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan bukan dari hasil pengamatan terhadap interaksi orang lain.
II.2.2   Penjelasan Miller dan Dollard tentang Belajar Observasional
Seperti Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard berusaha menentang penjelasan nativistik tentang belajar observasional. Akan tetapi berbeda dengan Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard tidak menyangkal fakta bahwa organisme bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain. Menurut Miller dan Dollard, jika imitative behavior (perilaku imitatif) diperkuat, ia akan diperkuat seperti jenis perilaku lainnya. Jadi menurut Miller dan Dollard, belajar imitatif adalah kasus khusus dari pengkondisian instrumental.
Miller dan Dollard (1941) membagi perilaku imitatif ke dalam tiga kategori:
1.      Same behavior (perilaku sama)
Terjadi ketika dua atau lebih individu merespon situasi yang sama dengan cara yang sama, misalnya: kebanyakan orang berhenti di lampu merah, bertepuk tangan saat suatu konser berakhir, dan tertawa saat orang lain tertawa.
2.      Copying behavior (perilaku meniru atau menyalin)
Adalah melakukan perilaku sesuai dengan perilaku orang lain, misalnya : ketika instruktur member bimbingan dan tanggapan korektif terhadap siswa kelas seni yang sedang berusaha menggambar.
3.      Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian)
Seorang pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja tindakan dari seorang model, misalnya: seorang anak yang lebih tua belajar lari ke pintu depan setelah mendengar langkah kaki ayahnya mendekati pintu dan ayah memperkuat perilaku anak itu dengan permen. Adiknya mengetahui bahwa jika dia berlari di belakang kakaknya itu, menuju pintu itu, dia juga akan mendapat permen dari ayahnya. Tidak lama kemudian si adik ini berlari ke pintu setiap kali dia melihat kakaknya melakukan hal itu. Pada poin ini perilaku kedua anak itu dipertahankan oleh penguatan, namun masing-masing anak mengasosiasikan penguatan itu pada petunjuk yang berbeda. Bagi si kakak, suara langkah ayahnya mendekati pintu menyebabkan dia lari menyongsongnya, dan respon lari ini diperkuat oleh permen. Bagi si adik, dia lari ketika melihat kakaknya lari, dan respon ini juga diperkuat dengan permen.
Menurut Miller dan Dollard, imitasi itu bisa menjadi kebiasaan. Miller dan Dollard menyebut tendensi untuk meniru perilaku sebagai generalized imitation (imitasi atau peniruan yang digeneralisasikan). Menurut Miller dan Dollard (1941), dalam belajar imitatif peran model adalah memandu respon pengamat sampai respon yang tepat diberikan atau untuk menunjukkan kepada pengamat respon mana yang akan diperkuat dalam situasi tertentu. Menurut Miller dan Dollard, jika respon imitatif tidak diberikan dan diperkuat, tidak terjadi belajar. Menurut mereka, belajar imitatif adalah hasil dari observasi, respon nyata, dan penguatan.
II.2.3   Analisis Skinerian Terhadap Belajar Observasional
Penjelasan Skinnerian terhadap belajar observasional adalah sama dengan penjelasan Miller dan Dollard. Pertama, perilaku model diamati, kemudian pengamat meniru respon dari model, dan akhirnya respon yang sama diperkuat. Setelah belajar terjadi dengan cara ini, ia akan dipertahankan oleh semacam jadwal penguatan dalam lingkungan natural. Jadi, menurut analisis operan terhadap belajar observasional, perilaku model bertindak sebagai stimulus diskriminatif yang menunjukkan tindakan mana yang akan menghasilkan penguatan. Imitasi, karenanya, tak lain adalah operan diskriminatif.
II.2.4.  Nonmanusia Dapat Belajar dengan Mengamati
Riset yang lebih baru menunjukkan bahwa analisis Thorndike, Watson, Miller dan Dollard, serta Skinner adalah tidak lengkap. Studi baru ini mengejutkan karena data menunjukkan bahwa beberapa organisme bukan manusia bisa melakukan proses belajar yang kompleks dengan mengamati spesies lain dan mereka dapat melakukannya tanpa penguatan langsung. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Nicol dan Pope (1993), ayam pengamat dipasangkan dengan ayam “demonstrator” (pemberi petunjuk). Setiap pengamat melihat sang demonstrator belajar mematuk dua kunci operan untuk mendapatkan makanan. Ketika ayam pengamat ini dites dalam kamar operan, mereka menunjukkan tendensi signifikansi untuk mematuk kunci yang diperkuat untuk ayam demonstrator. Beberapa ahli lain juga melakukan riset yang sama tetapi dengan hewan yang berbeda, seperti Akins dan Zentall (1998) dengan menggunakan burung puyuh, tim periset Inggris Heyes dan Dawson (1990); Heyes, Dawson, dan Nokes (1992) dengan menggunakan sekelompok tikus.
Zental (2003) mengatakan bahwa belajar observasional pada nonmanusia adalah fenomena yang kompleks yang bukan perilaku refleksi (naluriah) dan bukan imitasi sederhana. Meskipun belajar observasional belum diamati pada semua spesies nonmanusia, ini adalah fenomena yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam ketimbang yang pernah dipikirkan oleh teoretisi belajar lama.

II.3      PENJELASAN BANDURA TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL
Menurut Bandura, belajar observasional mungkin menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Apa yang anda pelajari, kata Bandura, adalah informasi yang diproses secara kognitif dan bertindak berdasar informasi demi kebaikan diri sendiri. Jadi belajar observasional lebih kompleks ketimbang imitasi sederhana, yang biasanya hanya meniru orang lain saja.
Teori belajar yang paling mirip dengan teori belajar Bandura adalah teori Tolman. Tolman percaya bahwa belajar adalah proses konstan yang tidak membutuhkan penguatan dan Bandura juga sama. Dalam teori mereka bersifat kognitif dan keduanya bukan reinforcement theories. Poin final dari kesepakatan teori adalah teori motivasi. Menurut Tolman dan Bandura perbedaan antara belajar dan performa sangat penting.
Observasi Empiris


Dalam teori Bandura, model adalah apa saja yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televise, pameran gambar, atau intruksi. Dalam kasus ini, film itu menunjukkan agresivitas seorang model dewasa. Satu kelompok anak melihat model yang agresif itu diperkuat. Kelompok kedua melihat model yang agresif itu dihukum. Kelompok ketiga melihat konsekuensi netral atas tindakan agresif si model itu; yakni model tidak diperkuat dan tidak dihukum. Kemudian, anak-anak dalam ketiga kelompok itu dipertemukan dengan sebuah boneka besar, dan tingkat agresivitas mereka terhadap boneka itu lalu diukur. Seperti yang diduga, anak yang melihat model diperkuat setelah melakukan tindakan agresif cenderung menjadi anak yang paling agresif; anak yang melihat model dihukum cenderung paling tidak agresif; sedangkan bagi anak yang melihat konsekuensi netral dari model, tingkat agresifitasnya berada di antara posisi dua kelompok lain itu. Studi ini menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman tak langsung atau pengalaman pengganti. Anak dalam kelompok pertama mengamati vicarious reinforcement (penguatan pengganti atau tak langsung) dan ini menambah agresivitas mereka. Anak dalam kelompok kedua melihat vicarious punishment (hukuman pengganti atau tak langsung) dan ia menghambat agresivitas mereka. Meskipun anak tidak mengalami langsung pengutan dan hukuman, namun hal itu memodifikasi perilaku mereka. Ini bertentangan dengan pendamat Miller dan Dollard bahwa belajar observasional hanya terjadi perilaku nyata organisme diikuti oleh penguatan.
Fase kedua studi tersebut didesain untuk menjelaskan perbedaan belajar-performa. Dalam fase ini, semua anak diberi insentif yang menarik agar mereproduksi (meniru) perilaku dari si model, dan mereka semua melakukannya. Dengan kata lain, semua anak telah belajar, respon agresif model, tetapi mereka melakukannya dengan cara berbeda-beda, tergantung pada kekuatan mereka sebelumnya telah melihat model itu diperkuat, dihukum, atau mendapat konsekuensi netral. Kesimpulan tentang perbedaan belajar dan performa adalah sama. Temuan utama dari kedua eksperimen itu bahwa penguatan adalah variable performa, bukan variable belajar. Menurut Bandura, belajar observasional terjadi sepanjang waktu serta tidak membutuhkan respon nyata atau penguatan. Bandura percaya bahwa pengamat harus menyadari kotigensi penguatan itu memberikan efeknya :karena belajar melalui konsekuensi respon sebagian besar adalah proses kognitif, konsekuensi pada umumnya tidak banyak menghasilkan perubahan dalam perilaku yang kompleks jika tidak ada kesadaran akan apa-apa yang diperkuat itu”.
Ringkasnya, Bandura berpendapat bahwa tidak ada semua unsur penting untuk analisis operasional terhadap belajar observasional. Yakni sering kali tidak ada stimulus diskriminatif, tidak ada respon nyata dan tidak ada penguatan.

II.4      KONSEP TEORETIS UTAMA
Bandura menyebutkan bahwa ada empat proses yang mempengaruhi belajar observasional, dan ringkasannya adalah sebagai berikut.
II.4.1   Proses Atensional
Sebelum sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan. Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari. Yang membuat sesuatu itu diperhatikan, yaitu, pertama kapasitas sensoris seseorang akan memengaruhi attentional process (proses atensional/proses memerhatikan). Jelas stimuli modeling yang digunakan untuk mengajari orang tunanetra atau tunarungu akan berbeda dengan yang digunakan untuk mengajari orang yang normal penglihatan dan pendengarannya.
Perhatian selektif pengamat bisa dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu. Misalnya, jika aktivitas yang lalu yang dipelajari lewat observasi terbukti berguna untuk mendapatkan suatu penguatan, maka perilaku yang sama akan diperlihatkan pada situasi modeling berikutnya. Dengan kata lain, penguat sebelumnya dapat menciptakan tata-situasi perseptual dalam diri pengamat yang akan memengaruhi observasi selanjutnya. Berbagai karakteristik model juga akan memengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Secara umum, Bandura (1986) mengatakan, “Orang memperhatikan model yang dianggap efektif dan mengabaikan model yang penampilan atau reputasinya tidak bagus … Orang akan lebih memilih model yang lebih mampu dalam meraih hasil yang bagus ketimbang model yang sering gagal”.
II.4.2   Proses Retensional
Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses retensional) di mana informasi disimpan secara simbolis melalui dua caa, secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal. Jenis simbolisasi yang lebih penting menurut Bandura, adalah verbal:
Kebanyakan proses kognitif yang mengatur perilaku terutama adalah konseptual ketimbang imajinal. Karena fleksibiltas symbol verbal yang luar biasa, kerumitan dan kepelikan perilaku bisa ditangkap dengan baik dalam wadah kata-kata. Misalnya, detail rute yang dilalui seorang model dapat disimpan dan diingat untuk dipakai lagi nanti secara lebih akurat dengan mengubah informasi visual ke kode verbal yang mendeskripsikan deretan kapan mesti belok kiri (L) atau kanan (R) (misalnya RLRRL), ketimbang dengan mengandalkan pada imajinasi visual dari rute itu. (1986, h. 58)
Meskipun dimungkinkan untuk mendiskusikan symbol imajinal dan verbal secara terpisah, keduanya sering tidak bisa dipisahkan saat kejadian direpresentasikan dalam memori. Walaupun simbol verbal memuat sebagian besar pengetahuan yang diperoleh melalui modeling, sering kali sulit untuk memisahkan mode-mode representasi. Aktivitas representasional biasanya menggunakan kedua sistem itu sampai tingkat tertentu … kata-kata cenderung membangkitkan citra yang terkait, dan citra dari suatu kejadian sering kali disadari secara verbal. Ketika stimuli visual dan verbal memberikan makna yang sama, orang mengintegrasikan informasi yang disajikan oleh modalitas yang berbeda ini ke dalam satu representasi konseptual umum. (h. 58)
Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi, dan diperkuat beberapa waktu setelah belajar observasional terjadi. Menurut Bandura (1977), “Peningkatan kapasitas simbolisasi inilah yang memampukan manusia untuk mempelajari banyak perilaku melalui observasi” (h. 25). Symbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya delayed modeling (modeling yang ditunda)—yakni kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.
II.4.3   Proses Pembentukan Perilaku
Behavioral production process (proses pembentukan perilaku) menentukan sejauh mana hal-hal yang telah dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan atau performa. Seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tak mampu menerjemahkan informasi itu ke dalam perilaku karena ada keterbatasan. Bandura berpendapat jika seseorang diperlengkap dengan semua apparatus fisik untuk memberikan respons yang tepat, dibutuhkan satu perioda rehearsal (latihan repetisi) kognitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku model. Menurut Bandura, symbol yang didapat dari modeling akan bertindak sebagai template (cetakan) sebagai pembanding tindakan. Selama proses latihan ini individu mengamati perilaku mereka sendiri dan membandingkannya dengan representasi kognitif dari pengalaman si model. Setiap diskrepansi antara perilaku seseorang itu dengan perilaku model akan menimbulkan tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai ada kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dan model. Jadi, retensi simbolis atas pengalaman modeling akan menciptakan pingkaran “umpan balik” yang dapat dipakai secara gradual untuk menyamakan perilaku seseorang dengan perilaku model, dengan menggunakan observasi diri dan koreksi diri.
II.4.4   Proses Motivasional
Dalam teori Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Seperti telah kita lihat di atas, apa yang dipelajari melalui observasi akan tersimpan sampai si pengamat itu punya alas an untuk menggunakan informasi itu. Kedua fungsi penguat itu adalah fungsi informasional. Satu fungsi menimbulkan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi lainnya, motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang telah dipelajari.
Menurut Bandura, bukan hanya penguatan itu tidak diperlukan agar belajar terjadi, tetapi pengalaman langsung juga tak selalu perlu. Seorang pengamat dapat belajar cukup dengan mengamati konsekuensi dari perilaku orang lain, menyimpan informasi itu secara simbolis, dan menggunakannya jika perilaku itu bisa bermanfaat baginya. Jadi, menurut Bandura, informasi penguatan atau hukuman sama informatifnya dengan penguatan dan hukuman langsung.
Menurut Bandura, pembelajar memperoleh informasi lewat pengamatan terhadap konsekuensi perilakunya sendiri atau perilaku orang lain. Informasi yang diperoleh lewat observasi ini dapat digunakan dalam berbagai macam situasi jika ia membutuhkannya. Karena tindakan diri sendiri atau orang lain yang menghasilkan penguatan atau menghindarkannya dari hukuman adalah bersifat fungsional, maka tindakan-tindakan itulah yang cenderung akan diamati dan disimpan dalam memori untuk dipakai di waktu mendatang. Berbekal informasi yang diperoleh dari pengamatan terdahulu, seorang individu akan memperkirakan bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, maka akan muncul konsekuensi tertentu. Dengan cara ini, perkiraan konsekuensi itu akan, setidaknya sebagian, menentukan perilaku dalam situasi tertentu. Tetapi, perlu dicatat bahwa konsekuensi environmental yang diantisipasi ini bukan satu-satunya penentu perilaku. Perilaku sebagian juga dipengaruhi oleh perkiraan reaksi-diri, yang ditentukan oleh standar performa dan tindakan seseorang dan oleh pandangannya tentang kemampuan atau kecakapan dirinya.
II.4.5   Determinisme Resiprokal
Mungkin pertanyaan paling dasar dalam psikologi adalah, “Mengapa orang bertindak seperti yang mereka lakukan itu?” jawaban Bandura untuk pertanyaan ini termasuk dalam ketegori “sesuatu” yang lain. Jawabannya adalah orang, lingkungan, dan perilaku orang itu semuanya berinteraksi untuk menghasilkan perilaku selanjutnya. Dengan kata lain, ketiga komponen itu tidak bisa dipahami secara terpisah-pisah. Bandura meringkas tiga interkasi itu sebagai berikut :
           
           
dimana P (person) adalah orang, E (environment) adalah lingkungan, dan B (behavior) adalah perilaku. Posisi ini disebut reciprocal determinism (determinisme resiprokal). Salah satu deduksi dari dari konsep ini adalah bahwa kita bisa mengatakan perilaku mempengaruhi seseorang dan lingkungan, atau lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.
Ringkasnya, konsep determinisme resiprokal Bandura menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan orang (dan keyakinannya) semua berinteraksi dan interaksi ketiganya itu harus dipahami dahulu sebelum kita bisa memahami fungsi psikologis dan perilaku manusia.
II.4.6   Regulasi-Diri Perilaku
Perilaku manusia sebagian besar adalah self-regulated behavior (perilaku yang diatur sendiri). Di antara hal-hal yang dipelajari manusia dari pengalaman langsung atau tidak langsung adalah performance standards (standar performa), dan stelah standar ini dipelajari, standar itu menjadi basis bagi evaluasi diri. Jika performa atau tindakan seseorang dala, situasi tertentu memenuhi atau melebihi standar, maka ia akan dinilai positif, jika sebaliknya ia dinilai negatif. Standar performa yang diinternalisasikan, perceived self-efficacy (anggapan tentang kecakapan diri) berperan besar dalam perilaku yang diatur sendiri. Maksud dari anggapan mengenai kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam melakukan sesuatu, dan ini muncul dari berbagai macam sumber termasuk prestasi dan kegagalan personal yang pernah dialaminya, melihat orang yang sukses atau gagal, dan persuasi verbal. Kecakapan diri seseorang mungkin berhubungan atau mungkin tidak berhubungan dengan real self efficacy (kecakapan diri yang sesungguhnya). Orang mungkin percaya bahwa kecakapan diri mereka rendah padahal sebenarnya cukup tinggi, dan sebaliknya. Situasi terbaik adalah ketika anggapan seseorang itu sesuai dengan kemampuan sesungguhnya.
II.4.7 Tindakan Moral
a) Justifikasi moral
Tindakan yang tercela itu menjadi cara untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan karenanya dibenarkan. Contohnya seperti : saya mencuri untuk memberi makan keluarga.
b) Pelabelan eufemistis
Menyebut tindakan tercela sebagai sesuatu yang lain sehingga dapat melakukannya tanpa rasa bersalah. Contohnya adalah ketika tentara sewaktu berperang, dia di bentuk pikirannya kalau membunuh bukan lah sebuah hal yang kejam, melainkan suatu kewajiban yang harus dilakukannya sebagai warga negara. Dan juga dengan begitu maka membunuh akan dianggap sebuah pekerjaan yang mulia.
c) Perbandingan yang Menguntungkan
Membandingkan tindakannya dengan tindakan orang lain yang lebih bengis, sehingga tindakan tercelanya tampak lebih baik. Dalam artian seperti, ‘’ jelas saya melakukannya, tetapi orang itu jauh lebih buruk.’’
  d) Pengalihan Tanggung Jawab
Beberapa orang dapat melanggar prinsip moral mereka jika mereka merasa di perintah oleh otoritas dan karenanya merupakan tanggung awab yang memberi perintah. Contohnya : para prajurit nazi yang membunuh jutaan orang. Ketika diminta pertanggung jawaban, mereka menjawab kalau mereka hanya diperintah.
e) Difusi Tanggung Jawab
Ketika banyak orang yang bertanggung jawab, yakni ketika ada penyebaran tanggung jawab, maka individu tidak akan merasa bertanggung jawab.
f) Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi
Orang mengabaikan akibat dari perbuatan yang mereka lakukan, sehingga mereka tidak perlu merasa bersalah.
g) Dehumanisasi
Ketika beberapa individu dianggap manusia rendahan, maka mereka bisa saja diperlakukan secara tidak manusiawi tanpa perlu merasa bersalah.
        h) Atribusi Kesalahan
Seseorang selalu dapat menyebut sesuatu yang dikatakan atau dilakukan korban sebagai alasan untuk bertindak keras atau tercela. Contohnya seorang pemerkosa, menyalahkan korbannya juga bertanggung jawab atas pemerkosaan itu, karena dia memakai pakaian seksi sehingga mengundang orang ntuk melakukan pemerkosaan.
II.4.8   Determinisme versus kebebasan (Determinism versus Freedom)
Karena manusia bisa mengatur perilakunya sendiri, bukan berarti dia bisa bebas melakukan apa saja sekehendak hatinya. Bandura mendefinisikan kebebasan (freedom) sebagai sejumlah pilihan yang tersedia dan kesempatan untuk melakukannya (Hergenhahn dan Olson, 1997).
Menurut Bandura, pembatas kebebasan personal antara lain adalah :
1.      Inkompetensi (Incompetence)
Pada inkompetensi, orang tidak mampu untuk memanfaatkan kesempatan dan pilihan-pilihan yang ada di lingkungan.
2.      Ketakutan akan ketidakterjaminan (Unwarranted Fears)
Adanya ketakutan bahwa pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan tidak menjamin keuntungan bagi diri membuat pilihan bebas seseorang terganggu.
3.      Kepastian diri yang berlebihan (Excessive Self-Ensure)
Rasa kepercayaan diri yang berlebihan mengakibatkan seseorang untuk mengambil pilihan atau kesempatan yang terlalu tinggi, yang tidak sesuai dengan kondisi aktual dirinya, dan pada akhirnya, dia sendiri tidak mampu untuk menjalankannya.
4.      Penghambat Sosial, berupa prasangka dan diskriminasi (Social Inhibitors - prejudice, discrimination)
Prasangka dan diskriminasi dari masyarakat membuat pilihan bebas seseorang terbatas.
Jadi, dalam lingkungan fisik yang sama beberapa individu lebih bebas ketimbang individu lainnya. Penghambat kebebasan lainnya adalah proses kognitif yang salah, yang menyebabkan orang tidak berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya.

II.5      PROSES KOGNITIF YANG SALAH (Faulty Cognitive Processes)
Sebagaimana manusia telah belajar tentang kode moral, self-efficacy, dan mampu mengatur perilakunya sendiri, bisa dikatakan bahwa perilaku manusia semuanya melibatkan proses kognitif. Seseorang bisa membayangkan berbagai hal dalam pikiran (imagine) dan bisa mempengaruhi perilaku. Sayangnya, proses kognitif yang salah (faulty cognitive processes) dapat menghambat perilaku atau bahkan bisa memunculkan perilaku yang salah.
      Sebab-sebab munculnya pemrosesan kognitif yang salah :
1.    Anak mengevaluasi berdasarkan penampilan
Anak-anak cenderung untuk melihat dari penampilan. Pada perkembangannya, melihat berdasarkan penampilan ini bisa memunculkan perilaku yang salah. Misalnya ketika seseorang melihat pria yang kekar, berwajah sangar, dan bertato, orang tersebut bisa saja berperilaku waspada atau menjauhi, atau  bahkan takut, karena berdasarkan penampilannya, pria tadi tampak seperti preman.
2.      Pemikiran keliru karena salah informasi dan bukti yang tidak mencukupi
Seseorang terkadang berperilaku salah karena dia salah mempersepsi suatu hal, bisa disebabkan oleh informasi yang salah ataupun bukti terhadap suatu hal yang tidak cukup. Contohnya, kita mendengar gosip bahwa teman sekelas kita adalah seorang pencuri, kita akan menjauhi teman tersebut, membencinya, atau bahkan mencurigainya (informasi yang salah). Gosip tersebut juga beredar karena bukti belum cukup, tapi orang sudah berperilaku mencurigai duluan.
3.      Pemrosesan informasi yang keliru
Seseorang terkadang percaya orang lain begini atau begitu, dan itu mempengaruhi persepsinya terhadap orang lain. Misalnya, seseorang percaya bahwa petani itu bodoh, maka orang tersebut akan menyimpulkan bahwa setiap petani yang dia temui adalah bodoh.

II.6      APLIKASI PRAKTIS DARI BELAJAR OBSERVASIONAL
II.6.1   Yang Didapat dari Modeling
Modeling memberi beberapa efek bagi pengamat. Respons baru mungkin muncul setelah menyaksikan seorang model diperkuat setelah melakukan tindakan tertentu. Jadi aquisition (akuisisi) perilaku berasal dari penguatan tak langsung. Sebuah respon mungkin tak muncul ketika melihat seorang model dihukum karena memberikan respon tersebut. Dengan demikian, hasil yang terhalangi  tersebut merupakan akibat daripada hukuman tersebut. Reduksi rasa takut yang berasal dari pengamatan atas tindakan model dalam aktivitas yang ditakuti itu dinamakan disinhibition (disinhibisi). Model meningkatkann kemungkinan si pengamat akan melakukan respon yang sama. Ini dinamakn facilitation (fasilitasi). Modeling juga dapat menstimulasi ctreativity (kreativitas) dengan cara menunjukan kepada pengamat beberapa model yang menyebabkan pengamat mengadopsi kombinasi berbagai karakteristik atau gaya.
Penggunaan modeling untuk menyampaikan informasi telah dikritik karena umumnya memicu tindakan imitasi belaka, kecuali untuk beberapa orang yang memang kreatif. Namun kritik ini disanggah melalui bukti dari konsep abstract modeling (modeling abstrak), dimana orang mengamati model yang melakukan berbagai macam respon yang memilki kaidah atau prinsip umum. Jadi modeling abstrak mengandung tiga komponen : (1) Mengamati berbagai macam situasi yang memilki kaidah atau prinsip sama. (2) mengambil inti sari kaidah atau prinsip dari berbagai pengalaman yang berbeda. (3) menggunakan kaidah atau prinsip itu dalam situai yang baru dan berbeda.
II.6.2   Modeling Dalam Setting Klinis
Menurut Bandura, psikopatologi berasal dari belajar disfungsional, yang menyebabkan antisipasi yang keliru terhadap dunia. Tugas psikoterapi adalah memberi pengalaman yang akan menyangkal ekspetasi yang salah itu dan menggantinya dengan ekspetasi yang benar.
Bandura dan rekan-rekannya melakukan sejumlah studi untuk menguji ekfektivitas modeling dalam mengatasi beberapa gangguan psikologis. Misalnya, Bandura, Grusec, dan Menlove (1967) menunjukkan kepada anak yang sangat takut pada anjing bagaimana seorang anak lain berinteraksi tanpa rasa takut dengan anjing kemudian tali ikatan  anjing itu dikendurkan secara bertahap dan interaksi langusng antara model dengan si anjing dibuat bervariasi. Satu kelompok control yang terdiri dari anak yang juga fobia anjing tidak diberi pengalaman modeling. kemudian perilaku semua anak itu dalam berhubungan anjing dalam eksperimen dan dengan anjing lain yang asing. Pengukuran dilakukan segera sesudah pengalaman itu dan juga setelah sebulan kemudian. Skor ditentukan dengan memberi nilai pada urutan interaksi dengan anjing ; yakni, anak diminta mendekati anjing dan memegangnya, lalu di minta mengeluarkan anjing dari kandang, melepas tali lehernya, dan akhirnya bermain bersama anjing itu dikandangnya.
Dapat dilihat dari study ini bahwa bukan ghanya respons baru dapat di pelajari dengan mengamati konsekuensi dari model, tetapi juga respons dapat dilenyapkan dengan cara serupa. Jadi Vicaraous extinction (pelenyapan tak langsung) sama pentingnya dengan penguatan tak langfsung dalam teori bandura. Dalam studi ini, pelenmyapan secara tak lansung dipakai untuk mereduksi atau menghilangkan ketakukatan pada amjing dan karenanya membantu menguatkan respon mendekati anjing.
Dalam studi lainnya, Bandura dan Menlove (1968) menggunakan tiga kelompok anak yang fobia anjing. Mereka di suruh menonton film dalam tiga kondisi yang berbeda: single modeling (modeling tunggal), dimana anak melihat seorang model berinteraksi dengan seokor anjing dengan tingkat keintiman semakin kuat; multiple modeling (modeling banyak), dimana anak melihat berbagai macam model berinteraksi dengan sejumlah anjing tanpa rasa takut ; dan ketiga adalah kondisi control, dimana anak melihat film yang tidak menampilkan anjing sama sekali. Dengan membandingkan study ini dengan study pada 1967, Bandura menyimpulkan bahwa meskipun direct modeling (modeling langsung) (melihat model secara langsung) maupun symbolic modeling (modeling simbolis ) (melihat model dalam film) cukup efektif untuk mengurangi rasa takut, namun tampaknya modeling langsung adalah yang lebih efektif.
Dalam study terakhir yang akan di bahas di sini, Bandura, Blanchard, dan Ritter (1969) membandingkan efektifitas modeling simbolis, modeling dengan partisipasi, dan desentisasi sebagai teknik untuk mengatasi fobia. Dalam studi ini, orang dewasa dan remaja yang takut ular dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok 1 (modeling simbolis) diperlihatkan sebuah film yang menunjukkan anak, remaja dan orang tua yang berinteraksi dengan seokor ular bessr. Adegannya menunjukkan peningkatan keakraban secara bertahap antara model dengan ular. Subyek dalam kelompok ini diberikan teknik relaksasi dan dapat menghentikan film kapan saja mereka merasa sangat takut. Kelompok 2 ( modeling participation / partisipasi modeling) menonton seorang model memegang seokor ular dan kemnudian mereka di bantu oleh si model untuk menyentuh ular. Kelompok 3 menerima desentization therapy (terapi desentisasi), yakni meminta subyek untuk membayangkan adegan yang menakutkannsaat bersama ular, dengan memulai membayangkan adegan yang tidak terlalu menimbulkan kecemasan dan pelan – pelan sampai ke yang menyebabkan rasa takut luar biasa. Kelompok 4 tidak menerima therapy apapun. Hasil menunjukkan bahwa ketiga kondisi perawatan itu efektif dalam mereduksi fobia ular, tetapi metode modeling dengan partisipasi adalah yang paling efektif.

II.7      PENGARUH BERITA DAN MEDIA HIBURAN
Bandura menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dari pengalaman tak langsung atau pengalaman pengganti dan belajar dengan mengamati konsekuensi dari perilakunya sendiri. Bandura mendefenisikan model sebagai segala sesuatu yang menyampaikan informasi. Jadi koran, majalah, televisi, dan sebagainya merupakan model. Dan tentu saja berita dan hiburan yang disampaikan dapat membawa pengaruh positif maupun dapat memunculkan proses kognitif yang salah pada individu.
Bandura menyatakan bahwa anak-anak dan orang dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui televisi modeling dan film. Bandura memberi contoh bagaimana tayangan di televisi dapat memicu perilaku antisosial, misalnya terjadinya pemerasan dengan strategi yang sama dengan yang ada dalam sebuah film yang baru saja ditayangkan. Bandura menolak kejadian itu hanya kebetulan belaka. Secara umum, Bandura menarik kesimpulan tentang acara di televisi bahwa tindakan kekerasan digambarkan sebagai tindak yang diperbolehkan, sukses, dan relatif tidak kotor. Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis akan menyebabkan orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan daripada mencari solusi alternatif. Namun yang juga perlu diketahui, tidak semua orang yang menonton kekerasan di televisi akan melakukan aksi kekerasan. Dan juga tidak ada orang yang menonton tayangan yang eksplisit secara seksual akan menjadi orang yang kecanduan seks. Materi erotis telah dipakai untuk mengatasi individu yang mengalami gangguan seksual.

II.8      TEORI KOGNITIF SOSIAL
Meskipun teori Bandura bersifat kognitif tetapi lebih komprehensif. Bandura juga berkonsentrasi pada perilaku sosial. Dan untuk membedakan teorinya dengan teori Tolman atau Dollard dan Miller, Bandura memilih nama social cognitive theory (teori kognitif sosial). Teori ini mendeskripsikan manusia sebagai organisme yang dinamis dalam memproses informasi dan sebagai organisme sosial. Kebanyakan dari proses belajar kita melibatkan orang lain dalam setting sosial dan berdasarkan observasi dan interaksi dengan orang lain inilah kognisi kita terus berkembang. Riset Bandura biasanya merefleksikan situasi dan problem kehidupan nyata dan subjeknya adalah manusia yang berinteraksi dengan manusia lain. Menurut Bandura, kemampuan manusia untuk membuat simbol membuat mereka bisa merepresentasikan kejadian, menganalisis pengalaman sadarnya, berkomunikasi dengan orang lain yang dipisahkan oleh jarak dan waktu, merencanakan, menciptakan, membayangkan, dan melakukan tindakan yang penuh pertimbangan.
Agen Manusia
Menurut Bandura, orang bukan hanya sekadar kumpulan mekanisme internal yang diatur oleh kejadian di lingkungan. Mereka adalah pelaku pengalaman, tidak hanya sekadar mengalami secara pasif. Sistem indera, motor, dan otak adalah alat yang dipakai manusia untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan yang memberi makna dan kepuasan bagi kehidupan mereka. Dari perspektif agen ini banyak hal yang kita pelajari sudah direncanakan terlebih dahulu dan dipandu oleh skema kognisi yang mencakup fokus pada tujuan yang mungkin terjadi, dan perilaku koreksi diri untuk mempertahankan kemajuan ke arah hasil yang diharapkan.
“Ciri utama” dari agen manusia :
1.      Intentionality (intensionalitas) yang didefinisikan sebagai representasi arah tindakan yang akan dilakukan di masa depan. Dengan kata lain, intensionalitas melibatkan perencanaan arah tindakan untuk tujuan tertentu. Tetapi, rencana itu tidak menjamin individu akan bisa menguasai keterampilan itu; ada kemungkinan hasilnya tidak sesuai rencana.
2.      Forethought (pemikiran ke depan) yang didefinisikan sebagai antisipasi atau perkiraan konsekuensi dari niat kita. Orientasi ke depan ini memandu perilaku kita ke arah akuisisi hasil positif dan menjauhkan diri dari hasil negatif, dan karenanya bersifat sebagai motivasi. Bandura menekankan bahwa representasi kognitif dari tujuan itulah yang akan memberi motivasi dan pedoman, sebab hasil aktual belum terwujud untuk saat sekarang. Lebih jauh, representasi kognitif tunduk pada regulasi diri berdasarkan anggapan kecakapan diri, keyakinan, dan standar moral.
3.      Self reactiveness (kereaktifan diri), yang menghubungkan pikiran dan tindakan. Faktor kecakapan, keyakinan, dan nilai dalam teori kognitif sosial bertindak sebagai pemberi pedoman. Dalam kasus kereaktifan diri faktor ini memandu pelaksanaan perilaku aktual.
4.      Self reflectiveness (kereflektifan diri), kemampuan metakognisi untuk merenungkan arah, konsekuensi, dan makna dari rencana dan tindakan kita. Bandura percaya bahwa anggapan tentang kecakapan diri ini adalah faktor terpenting yang menentukan pilihan tindakan kita, intensitas aktivitas kita, dan kemauan kita untuk terus bertahan saat menghadapi rasa frustasi yang bisa menimbulkan kegagalan.

II.9      PENDAPAT BANDURA TENTANG PENDIDIKAN
Bandura percaya bahwa segala sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalaman langsung juga bisa dipelajari secara tidak langsung melalui observasi. Bandura juga percaya bahwa model akan sangat efektif apabila dilihat sebagai seseorang yang memiliki kehormatan, kompetensi, status tinggi atau kekuasaan. Dan dalam hal ini sebagian besar guru memiliki kriteria tersebut sehingga dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru dapat menjadi model untuk suatu keahlian, strategi pemecahan masalah, kode moral, standar performa, aturan dan prinsip umum, dan kreativitas. Guru juga dapat menjadi model tindakan, yang akan diinternalisasi siswa dan karenanya menjadi standar evaluasi diri. Bandura juga menyatakan bahwa penguatan intrinsik lebih penting daripada penguatan ekstrinsik. Penguatan ekstrinsik dianggap justru bisa mereduksi motivasi belajar siswa.
Proses belajar observasional diatur oleh empat variabel yang harus diperhatikan oleh guru. Proses yang pertama yaitu atensional (perhatian), dimana siswa harus menaruh perhatian terhadap sesuatu yang menurutnya menarik, popular, kompeten, atau dikagumi, dan proses itu akan bervariasi seiring dengan pendewasaan dan pengalaman belajar sebelumnya. Yang kedua yaitu retensi, agar dapat meniru perilaku suatu model siswa  harus mengingat perilaku itu. Pada fase retensi ini, latihan sangat membantu siswa untuk mengingat elemen-elemen perilaku yang dikehendaki. Yang ketiga produksi, suatu proses pembelajaran dengan memberikan latihan-latihan agar membantu siswa lancer dan ahli dalam menguasai materi pelajaran. Yang terakhir yaitu motivasi. Suatu cara agar dapat mendorong kinerja dan mempertahankan tetap dilakukannya keterampilan yang baru diperoleh dengan memberikan penguatan (bisa berupa nilai dan penghargaan).
Dengan mengingat bahwa teori belajar observasional memiliki banyak implikasi edukasional dan untuk dapat menggunakannya secara efektif memerlukan pertimbangan proses-proses tertentu, film, televisi, ceramah, tape, demonstrasi, dan display dapat dipakai sebagai model yang efektif untuk tujuan pendidikan.

II.10    EVALUASI TEORI BANDURA
II.10.I  Kontribusi
Menurut Bandura kita belajar dengan mengamati orang lain dan bahwa belajar terjadi dengan atau tanpa imitasi dan tanpa penguatan. Setelah itu interaksi tiga arah yang disajikan dalam gagasannya tentang determinisme resiprokal, yang isinya bahwa produk dari orang dan lingkungan dan juga memengaruhi orang dan lingkungan, dan karenanya menggeser perspektif kita dari fokus pada perilaku dan hubungan dinamis antara orang, lingkungan dan perilaku.
II.10.2 Kritik
Determinisme resiprokal dianggap kurang sempurna, karena sebenarnya interaksi sistematis bukan soal baru, serta prinsip ini menolak analisis kausal standar. Maksudnya jika perilaku menyebabkan perubahan pada orang, sementara orang itu menyebabkan perubahan dalam perilaku, sementara lingkungan menyebabkan perubahan dalam perilaku dan orang, dst, maka tugas menemukan apa penyebab sesungguhnya menjadi mustahil. Serta teori Bandura terlalu banyak membahas hal – hal yang kurang positif.

































BAB III
PENUTUP

III.1     Kesimpulan

Teori Belajar Sosial, Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli psikologi pendidikan dari Stanford University,USA. Teori pembelajaran ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku lingkungan dan kejadian – kejadian internal pada pembelajaran yang mempengaruhi persepsi dan aksi merupakan hubungan yang saling berpengaruh.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.        Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2.        Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3.        Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).
4.        Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5.        Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.





DAFTAR PUSTAKA

Hergenhahn, B.R. Olson, H. Matthew.2010.Theories of Learning (Teori Belajar).Jakarta: Kencana Perdana Media Group

1 comments:

Atletsuit mengatakan...

lengkap dan sangat menjadikan referensi buat bahat ngejain tugas nih. terimakasih buat postingannya.

Posting Komentar