Pages

Selasa, 24 April 2012

Perkembangan Moral Kohlberg


Pengertian Moral
Kata moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan. Kata mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannya, sehingga menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis. Kata sifat tidak akan berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain. Begiu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan dengan scientia dan bebrunyi scientis moralis, atau philosophia moralis. Karena biasanya orang-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan dengan kata-kata yang mempunyai arti ilmu. Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral.
Perkata diartikan dengan ajaran kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Dengan demikian moral dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan. Sedang, ertika merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan manusia yang baik dan yang buruk. (Ethics the study and phsylosophy of human conduct with emphasis on the determination of right and wrong one of the normative sciences)
Menurut hukum ethic sesuatu perbuatan dinilai pada 3 tingkat :
• Semasih belum lahir jadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam kata hati ; niat
• Sesudah sudah berupa perbuatan nyata = pekerti
• Akibat atau hasil dari perbuatan itu = baik atau tidak baik
Variable pencapaian dari niat atau karsa itu sendiri adalah sebagai berikut :
• Tujuannya baik tetapi cara mencapainya tidak baik
• Tujuannya yang tidak baik cara mencapainya (kelihatannya ) baik
• Tujuannya baik cara mencapainya juga baik
2.2Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.
Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh masing-masing tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg yang paling populer:
Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz, pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau memperbolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, “Tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.
Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk mencuri obat bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker memiliki hak untuk mengenakan harga semahal itu walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau mengapa tidak?
Berdasarkan penalaran di atas kohlberg kemudian merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
2.3 Tahapan Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra- konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Melalui penelitian yang dilakukannya selam 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengindentifikasi 6(enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
  1. Taraf Pra-konvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsive terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kala jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya. Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu :
1. Punishment and obedience orientation.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Akibat – akibat dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya sendiri, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri.
2. Instrument-relativist orientation.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli dipasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
  1. Tahap Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan seara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengindentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social. Dua taraf ini adalah :
1. Mentalitas Anak Baik
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik.
2. Mentalitas Hukum dan Aturan
Tahap law and order, orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban social. Penting untuk mematuhi peraturan karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
3. Tahap Pasca Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat “hakekat diri mendahului orang lain” ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Pada taraf ini seorang berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah ( valid ) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah :
1. Keputusan Moral Berdasarkan Hukum atau Legalitas (Sosial contract orientation)
Dalam tahap ini oaring mengartikan benar salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji dimasyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersifat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu consensus bersama.
2. Kata Hati atau Nurani Menentukan Apa Yang Benar (The universal ethical principle orientation)
Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip adalah keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat ( nilai ) manusia sebagai pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan tahapannya seperti itu berlakulan dalil berikut :
1) perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2) dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
3) dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri. Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3. berdasarkan inilah kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
4) dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik. Seseorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehingga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya. Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.

1 comments:

khaireena mengatakan...

izin copy. thank you :)

Posting Komentar